Menu

Mode Gelap
Pelatihan Konselor Sebaya Pesantren, RMI PCNU Kencong Cetak Santri Generasi Emas Ratusan Kader Dai-Daiyah LD PCNU Kencong Ikuti Madrasah Dakwah di Dira Kencong Peringati Maulid Nabi, Gus Yak: Ciri Orang Wirai itu Tidak Meminta-minta LPTNU Kencong Fasilitasi Pelatihan Penyusunan Borang Akreditasi LESBUMI Podcast Eps.2, Islam Nusantara, Nyai Ageng Pinatih, dan Jejak Sunan Giri Persoalan Wali Nikah Muhakkam

HUKUM

Peristiwa Isra’ Mi’raj; Benarkah Rasulullah Melihat Allah? (Bagian 1)

badge-check


					Gambar dibuat dengan AI: Microsoft Designer Perbesar

Gambar dibuat dengan AI: Microsoft Designer

 Download PDF

Sebagaimana ramai diketahui, isra’ adalah diberangkatkannya Rasulullah dari Masjidil Haram, Mekah, menuju Masjidil Aqsa, Palestina. Sedangkan Mi’raj ialah diangkatnya Rasulullah dari Masjidil Aqsa menuju ke Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Peristiwa ini menurut pendapat yang masyhur, terjadi pada tahun 621 masehi, 27 Rajab, dua belas tahun sesudah beliau diresmikan sebagai nabi.

Para ulama menyatakan bahwa mengingkari peristiwa Isra mengakibatkan kekufuran, karena sebelum ijmak yang mereka putuskan serta adanya dalil-dalil sunnah yang shahih dan masyhur, peristiwa isra telah difirmankan Allah al-Quran:

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرم إلى المسجد الأقصى [الإسراء: 1]

Artinya: “Maha suci Dzat yang memberangkatkan hambaNya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa”. (QS. Al-Isra: 1)

Firman Allah ini secara gamblang menjelaskan peristiwa isra, tanpa ada kemungkinan multitafsir.

Sedangkan mi’raj, para ulama tidak menghukumi kufur terhadap pengingkarnya, disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang dapat membuktikan kebenarannya. Memang ada hadits-hadits masyhur yang menjelaskan, namun masih tidak cukup sebagai bukti kuat, tanpa nash al-Quran yang jelas. Adapun firman Allah:

ولقد رآه نزلة أخرى عند سدرة المنتهى عندها جنة المأوى [النجم: 13-15]

Artinya: “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal”.  (QS. An-Najm: 13-15)

Firman Allah ini, tidak secara gamblang menjelaskan peristiwa mi’raj. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini hanya menjelaskan pengelihatan Rasulullah SAW terhadap malaikat Jibril dalam bentuk aslinya dalam satu kesempatan, dari beberapa kesempatan yang beliau alami, tidak ketika beliau mi’raj.

Namun demikian, mayoritas ulama berpendapat mi’raj benar-benar terjadi dan mengingkarinya adalah perbuatan haram, meskipun tidak sampai ke taraf kufur.

Salah satu masalah dalam peristiwa mi’raj yang selalu menjadi perdebatan yang seolah tidak ada habisnya adalah benar atau tidaknya Rasulullah melihat kepada Allah SWT. Dilihat dari dalil-dalil masalah, baik dari Al-Quran atau sunnah dan pendapat para sahabat, ada tiga pendapat ulama mengenai hal ini. Ada ulama yang membenarkan, tidak membenarkan dan ada yang bersikap tawaquf (menangguhkan).

Ulama yang membenarkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat kepada Allah ta’ala di dunia khususnya saat beliau diisra’kan terpecah menjadi dua, yaitu membenarkan pengelihatan tersebut dengan mata kepala, dan hanya membenarkannya dengan mata hati.

Dari kalangan sahabat, orang yang yang membenarkan pengelihatan Rasulullah kepada Allah dengan mata kepada diantaranya adalah Abdullah bin Abbas radliyallahu anhu. Dia mengatakan: “Apakah kamu heran jika khillah (kekasih Allah) diberikan kepada nabi Ibrahim, Kalam (Firman Allah) diberikan kepada nabi Musa, dan ru’yah (melihat Allah) diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam”.

Dalam Sunan At-Tirmidzi, Ibnu Abbas radliyallahu anhu berkata dalam menanggapi firman Allah:

ولقد رآه نزلة أخرى عند سدرة المنتهى

“Rasulullah melihat Tuhannya, lalu ia dekat dengan Allah. Maka seperti sangat dekat atau lebih dekat lagi”.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa dia mengirim utusan kepada Ibnu Abbas radliyallahu anhu, dan bertanya: “Apakah Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam melihat Allah?”. Dia menjawab: “Ya benar. Sungguh beliau melihat-Nya”.

Selain Ibnu Abbas, sahabat yang membenarkannya adalah Anas bin Malik, Abu Hurairah dan sebagian besar sahabat lainnya. Mayoritas tabi’in juga membenarkan Rasulullah melihat Allah, diantara mereka adalah Ka’ab al-Ahbar, Ikrimah, Abbad bin Manshur, Hasan Al-Basri, Az-Zuhri Ibrahim bin Thahman.

Mayoritas ulama yang diantaranya ada Imam Ahmad dalam satu riwayat, Ibnu Khuzaimah, Imam Al-Ajuri, Al-Alusi, Ibnu Jarir, Imam Abul Hasan al-Asy’ari, Al-Qadli Abu Ya’la, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, Abu Zakariya Al-Anshari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, As-Shawi dan masih banyak yang lain, juga membenarkan Rasulullah melihat kepada Allah ta’ala di alam dunia.

Al-Imam Al-Asy’ari berdasarkan pendapat yang dinisbatkan kepadanya oleh Al-Qadli Iyadl,  Al-Qurthubi, Imam An-Nawawi, dan Ibnu Katsir, membenarkan bahwa Rasulullah melihat Allah ta’ala. Menurut Al-Qadli Iyadl, Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari dan banyak pengkutnya mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat kepada Allah ta’ala dengan mata kepala. Ia mengatakan: “Setiap ayat yang diberikan kepada para nabi, juga diberikan kepada nabi kita. Dan beliau diberi kelebihan dari pada yang lain, yaitu melihat kepada Allah”.

Ibrahim al-Bajuri dalam syarahnya terhadap Jauharatut Tauhid mengatakan bahwa pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama adalah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah ta’ala dengan mata kepala.

Syaikh Ahmad Al-Marzuqi dalam Aqidatul Awam mengatakan:

وبعد إسراء عروج للسما * حتى رأى النبي ربا كلما

“Sesudah Isra’ beliau mi’raj ke langit, hingga Nabi melihat Allah berfirman”.

Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Syarahnya terhadap Aqidatul Awam mengatakan: “… kemudian Rasulullah melihat kepada Allah dengan kedua pengelihatan kepalanya, dengan pengelihatan yang layak bagi kesucianNya.” Menurutnya, pendapat ini adalah yang paling shahih dan diunggulkan oleh para pembesar ulama.

Dalam Al-Ghun-yah, Abdul Qadir Al-Jilani mengatakan: “Kami beriman bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam melihat Tuhannya yang maha agung pada malam isra’ dengan mata kepala, bukan dengan hati dan tidak dalam mimpi”.

An-Nawawi mengatakan: “Pendapat yang unggul (rajih) menurut mayoritas ulama bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan mata kepala pada malam isra’ sebagaimana Hadits Ibnu Abbas dan dalil-dalil lain. Penetapan ini tidak diambil oleh para ulama kecuali berdasar keterangan dari Rasulullah dan merupakan sesuatu yang tidak  patut untuk diragukan”.

Al-Qadli Abu Ali bin Abi Musa menceritakan pendapat Abu Bakar An-Najjad Ahmad bin Sulaiman. Ia mengatakan: “Nabi Muhammad melihat Tuhannya hingga 11 kali. Diataranya dalam satu tahun melihat 9 kali dalam peristiwa mi’raj. Karena beliau bolak-balik dari nabi Musa kepada Allah, meminta diringankannya shalat untuk umatnya. Sehingga kewajiban shalat yang semula 50 kali sehari semalam, menjadi 5 kali”.

(Bersambung)

Penulis: Taufiq Abu Madih Muhammad; Staf Pengajar PP. Assunniyyah Kencong

Baca Lainnya

Hukum Tawkil-nya Wali Ghaib di Luar Negeri, Sahkah?

1 Juli 2025 - 19:20 WIB

Hukum Memanfaatkan Tanah Wakaf Makam Untuk Keperluan Lain

30 Mei 2025 - 07:49 WIB

Hukum Mahram Anak dari Suami Kedua

27 Maret 2025 - 07:45 WIB

Status Anak yang Tidak Bernasab Pada Ayahnya

10 Februari 2025 - 17:49 WIB

Trending di HUKUM