Beberapa waktu lalu, publik dibuat heboh oleh konflik antara Yai Mim, mantan dosen UIN Malang, dengan tetangganya Sahara di Perumahan Joyogrand, Kota Malang. Awalnya, masalah ini hanya dipicu oleh parkir kendaraan di depan rumah. Namun, perbedaan pandangan dan emosi yang tidak terkelola membuat persoalan sederhana berkembang menjadi cekcok terbuka, saling lapor ke polisi, hingga viral di media sosial.
Jalan yang semestinya menjadi tempat lalu lintas warga berubah menjadi “arena” perseteruan. Warga sekitar ikut terbawa arus, bahkan aparat RT/RW dan tokoh masyarakat pun terseret dalam pusaran konflik. Kasus ini menjadi cermin betapa hubungan bertetangga yang tidak dijaga dengan baik dapat merusak keharmonisan lingkungan, bahkan sampai ke ranah hukum dan publik.
Padahal dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan sangat mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku tentang tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga akan mendapatkan hak waris.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap hak-hak tetangga. Menjaga hubungan baik dengan tetangga bukan sekadar etika sosial, tapi juga perintah agama.
Kerukunan tetangga menciptakan suasana tenteram. Ketika ada masalah kecil, ia dapat diselesaikan dengan musyawarah dan saling memahami, bukan dengan emosi. Lingkungan yang rukun akan melahirkan saling tolong-menolong dan rasa aman bersama.
Sebagaimana konflik Yai Mim dan Sahara, persoalan sepele bisa membesar jika komunikasi tidak baik. Islam menganjurkan tabayyun (klarifikasi) dan islah (perdamaian) sebelum masalah melebar. Allah berfirman:
“Dan jika dua golongan orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya…” (QS. Al-Hujurat: 9)
Konflik antar tetangga seringkali berdampak luas: nama baik keluarga tercemar, anak-anak ikut terdampak, bahkan lingkungan ikut terpecah. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan dan sikap agar tidak menyakiti tetangga.
Konflik antara Yai Mim dan Sahara memberikan pelajaran berharga: perbedaan kecil bisa menjadi besar bila tidak diiringi akhlak, komunikasi, dan musyawarah. Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, menghormati hak mereka, dan membangun lingkungan yang damai dan rukun.
Hidup bertetangga bukan sekadar berdampingan secara fisik, tapi juga bersaudara dalam kehidupan sosial. Rukun tetangga berarti rukun masyarakat, dan rukun masyarakat berarti pondasi kokoh bagi kehidupan bangsa.