Sejarah Islam di Nusantara adalah kisah panjang tentang pertemuan budaya, perdagangan, dan spiritualitas. Ia bukanlah kisah sederhana tentang kedatangan agama dari Arab lalu diterima begitu saja oleh masyarakat Nusantara. Sebaliknya, sejarah ini adalah hasil dari interaksi yang kaya antara pedagang, ulama, wali, bangsawan, dan masyarakat lokal. Dalam proses inilah, muncul tokoh-tokoh besar yang menjadi teladan, baik laki-laki maupun perempuan, yang memainkan peranan penting dalam membentuk wajah Islam di Indonesia.
Salah satu figur yang jarang mendapat sorotan tetapi sangat berpengaruh adalah Nyai Ageng Pinatih, seorang perempuan yang bukan hanya pedagang tangguh, tetapi juga tokoh spiritual dan ibu angkat dari Sunan Giri. Kisahnya hadir di tengah narasi besar Islam Nusantara yang sering dipersonifikasikan oleh Wali Songo. Melalui Nyai Ageng Pinatih, kita bisa memahami bagaimana perempuan memiliki kontribusi yang signifikan dalam perjalanan sejarah Islam, meski kerap luput dari catatan resmi yang dominan ditulis dalam perspektif patriarkal.
Video ceramah Islam Nusantara yang disampaikan oleh Gus Rijal Mumazziq Zionis mengangkat kembali pentingnya tokoh ini, mengaitkannya dengan konteks lebih luas tentang penyebaran Islam di Jawa, khususnya di wilayah pesisir. Ceramah itu tidak hanya menyuguhkan kisah sejarah, tetapi juga menekankan nilai-nilai Islam Nusantara yang ramah, kontekstual, serta menghargai perbedaan budaya.
Latar Belakang Islam Nusantara
Istilah Islam Nusantara sering dipahami sebagai corak Islam yang khas Indonesia: Islam yang tumbuh melalui dialog dengan budaya lokal, tanpa mengorbankan inti ajarannya. Sejak abad ke-13, ketika Islam mulai menguat di pesisir Sumatra dan Jawa, jalur perdagangan menjadi pintu masuk paling utama. Para pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab tidak hanya membawa barang dagangan, tetapi juga gagasan dan praktik keagamaan.
Di titik inilah Islam hadir bukan sebagai agama yang dipaksakan, melainkan ditawarkan melalui interaksi sosial, budaya, bahkan seni. Di Jawa, terutama pada abad 15–16, Wali Songo menjadi tokoh sentral. Mereka bukan hanya dai yang menyebarkan syariat, melainkan juga arsitek budaya yang pandai menyesuaikan pesan Islam dengan tradisi lokal. Misalnya, wayang kulit, gamelan, dan seni arsitektur masjid menjadi medium dakwah yang akrab dengan masyarakat setempat.
Islam Nusantara lahir dari dialektika antara ajaran Islam universal dengan kebudayaan lokal Nusantara. Hasilnya adalah Islam yang lembut, penuh toleransi, tetapi juga teguh dalam akidah. Di dalamnya, peran perempuan sering terabaikan, padahal ada figur-figur seperti Nyai Ageng Pinatih yang menunjukkan betapa Islam Nusantara sejak awal juga diwarnai kontribusi kaum perempuan.
Nyai Ageng Pinatih: Sosok Perempuan Tangguh
Nyai Ageng Pinatih dikenal dalam sejarah sebagai seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi di wilayah Gresik, Jawa Timur. Ia adalah seorang saudagar kaya raya yang menguasai jalur perdagangan penting di pesisir. Kemandiriannya sebagai pedagang menunjukkan bahwa perempuan pada masa itu tidak hanya terkurung di ranah domestik, tetapi juga aktif dalam dunia ekonomi.
Lebih dari itu, Nyai Ageng Pinatih juga seorang yang religius. Ia tidak hanya menggunakan kekayaannya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk mendukung perkembangan dakwah Islam. Salah satu peran terbesar yang dikenang darinya adalah ketika ia menjadi ibu angkat Sunan Giri, salah satu wali besar yang kelak memainkan peran penting dalam Islamisasi Jawa.
Kisah yang terkenal adalah ketika bayi kecil yang kelak dikenal sebagai Joko Samudro (Sunan Giri) hanyut di laut. Bayi itu ditemukan dan diselamatkan oleh Nyai Ageng Pinatih. Dengan penuh kasih sayang, ia membesarkan anak tersebut hingga dewasa, memberinya pendidikan, dan mengantarkannya pada jalan spiritual. Dari asuhan inilah Sunan Giri tumbuh menjadi ulama besar yang kemudian mendirikan pesantren dan memimpin gerakan dakwah di Jawa Timur.
Peran Nyai Ageng Pinatih di sini bukan hanya sebagai ibu pengasuh, tetapi juga sebagai penghubung spiritual yang membuka jalan bagi lahirnya seorang tokoh besar. Tanpa peranannya, mungkin sejarah Islam di Jawa akan berbeda.
Sunan Giri: Murid, Anak, dan Pemimpin Dakwah
Sunan Giri, atau Raden Paku, adalah salah satu dari Wali Songo yang paling berpengaruh. Dari kecil hingga dewasa, ia mendapatkan bimbingan spiritual yang kuat, baik dari Nyai Ageng Pinatih maupun para guru lainnya. Setelah dewasa, ia belajar di pesantren Ampel Denta, asuhan Sunan Ampel, yang merupakan pusat pendidikan Islam terbesar di Jawa kala itu.
Sunan Giri kemudian dikenal sebagai pendiri Pesantren Giri Kedaton, yang tidak hanya menjadi pusat pendidikan agama, tetapi juga pusat kebudayaan dan politik. Dari pesantren ini, lahir banyak murid yang kelak menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara, termasuk ke Lombok, Sulawesi, hingga Maluku.
Pengaruh Sunan Giri begitu besar hingga ia dianggap sebagai rujukan dalam banyak hal, bukan hanya dalam bidang agama, tetapi juga politik. Bahkan, ia sering disebut sebagai raja tanpa mahkota, karena perannya dalam memberikan legitimasi kepada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Hubungannya dengan Nyai Ageng Pinatih tidak pernah putus. Meski telah menjadi tokoh besar, ia selalu mengenang peran ibunya yang penuh kasih sayang itu. Di sinilah kita melihat bahwa keagungan seorang wali tidak lepas dari doa, kasih sayang, dan peran seorang ibu—baik ibu kandung maupun ibu angkat.
Perempuan dalam Sejarah Islam Nusantara
Kisah Nyai Ageng Pinatih menegaskan bahwa perempuan punya tempat istimewa dalam sejarah Islam Nusantara. Selama ini, narasi besar cenderung maskulin, menonjolkan figur para wali laki-laki, raja, atau ulama. Padahal, di balik mereka, ada perempuan yang menopang dengan peran ekonomi, pendidikan, bahkan spiritual.
Selain Nyai Ageng Pinatih, ada pula figur lain seperti Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Maloka, atau para istri Wali Songo yang juga ikut berkontribusi. Peran mereka bisa berupa pendukung logistik, pengasuh generasi penerus, maupun aktor utama dalam perdagangan dan jaringan sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara sejak awal telah memberi ruang bagi partisipasi perempuan. Kemandirian ekonomi Nyai Ageng Pinatih, misalnya, memperlihatkan bagaimana perempuan bisa berperan aktif dalam jalur perdagangan maritim, yang kala itu menjadi urat nadi perekonomian Nusantara.
Islam Nusantara dan Nilai Kemanusiaan
Gus Rijal Mumazziq dalam videonya menekankan bahwa kisah Nyai Ageng Pinatih dan Sunan Giri adalah contoh konkret dari nilai-nilai Islam Nusantara: Islam yang membumi, tidak eksklusif, dan menekankan kasih sayang. Islam tidak hadir dengan pedang, melainkan dengan cinta.
Peran Nyai Ageng Pinatih sebagai ibu angkat menegaskan betapa Islam menekankan nilai kemanusiaan: menyelamatkan bayi yang hanyut, membesarkannya tanpa pamrih, lalu mendidiknya hingga menjadi ulama besar. Dari sinilah lahir generasi penerus yang membawa Islam ke berbagai pelosok Nusantara.
Islam Nusantara adalah Islam yang tidak tercerabut dari akar budaya lokal. Ia menghormati adat, tetapi juga mengajarkan nilai universal Islam. Melalui cara ini, Islam bisa diterima secara damai oleh masyarakat Jawa, tanpa konflik besar.
Relevansi di Era Modern
Kisah Nyai Ageng Pinatih tidak hanya relevan bagi masa lalu, tetapi juga bagi masa kini. Dalam dunia modern yang sering dilanda konflik identitas, intoleransi, dan kekerasan, nilai-nilai Islam Nusantara yang ramah dan menghargai perbedaan menjadi sangat penting.
Peran perempuan juga semakin mendapat perhatian. Kisah Nyai Ageng Pinatih memberi inspirasi bahwa perempuan tidak hanya bisa berperan di ranah domestik, tetapi juga dalam kepemimpinan, pendidikan, dan ekonomi. Dalam konteks modern, perempuan Muslim Indonesia bisa meneladani semangat kemandirian, keberanian, dan spiritualitas tokoh-tokoh seperti dia.
Narasi panjang ini menunjukkan bahwa kisah Nyai Ageng Pinatih dan Sunan Giri bukan hanya kisah sejarah, melainkan cermin dari nilai-nilai Islam Nusantara. Melalui perdagangan, kasih sayang, dan pendidikan, Islam tumbuh di Jawa dengan cara yang damai dan membumi.
Dengan memahami kisah ini, kita tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga mendapat inspirasi untuk masa depan. Islam Nusantara adalah warisan yang harus terus dijaga, agar Islam di Indonesia tetap menjadi rahmat bagi semesta alam.
Tonton video selengkapnya melalui tautan ini: