Menu

Mode Gelap
Istighosah HSN 2025 dan Harlah ke-27 UAS: Refleksi Spirit Santri untuk Negeri Ratusan Santri Meriahkan Kirab Lampion HSN 2025 di Alun-Alun Puger Santri Pemimpin Santri, Harapan Baru dari Bupati Jember Gus Fawait Bebrayan Agung: LESBUMI PCNU Kencong Gelar Napak Tilas dan Nyekar Muassis dalam Rangka Hari Santri Nasional 2025 Pesantren Adalah Pondasi Moral Bangsa, Habituasi Agar Tidak Antikritik Kick Off Hari Santri Nasional 2025 dan Harlah ke-27 UAS Kencong: Momentum Refleksi dan Pengabdian

KENCONG

Kencong: Doa Khusyuk dan Hiburan Rakyat yang Berdampingan Tanpa Rasa Canggung.

badge-check


					Kencong: Doa Khusyuk dan Hiburan Rakyat yang Berdampingan Tanpa Rasa Canggung. Perbesar

 Download PDF

Kalau ada yang bertanya: “Kencong itu apa?”, sebagian besar orang luar Jember mungkin hanya menjawab: “Oh, itu kecamatan di selatan Jember, deket-deket Lumajang, ya?” Jawaban ini tentu benar secara administratif, tapi terlalu sempit kalau bicara soal Kencong. Sebab, Kencong bukan sekadar titik di peta. Ia adalah sebuah ekosistem kehidupan, lengkap dengan sejarah, budaya, mitos, sampai gaya hidup yang kalau dilihat lebih dekat bisa bikin kita mikir: “Lha kok bisa ya daerah sekecil ini hidup dengan cara yang begitu unik?”

Sejarah penamaan “Kencong” memang agak berlapis. Sehingga “sepertinya” menurut hemat penulis belum ada sejarah resmi terkait penamaan Kencong. Versi yang paling sering diceritakan masyarakat adalah soal keberadaan sebuah pohon besar bernama pohon kencong (sejenis pohon kayu keras yang dulunya banyak tumbuh di kawasan rawa-rawa sekitar Sungai Bedadung dan DAS Mayang). Pohon ini konon jadi penanda utama para pendatang. “Ayo kumpul neng kencong,” begitu kata orang zaman dulu kalau menunjuk lokasi itu. Lama-lama, nama pohon itu melekat jadi nama daerah.

Versi lain, lebih mitologis, datang dari kisah zaman Mataram Islam. Konon, ada pasukan kerajaan yang singgah di wilayah ini saat ekspansi ke timur. Mereka membawa gong besar (disebut kencong dalam istilah Jawa kuna). Gong ini sering dipukul untuk memberi tanda keberangkatan pasukan. Karena sering dipukul di wilayah itu, orang-orang sekitar menyebut daerah tersebut Kencong.

Mana yang benar? Tentu saja kita tidak bisa memastikannya. Tapi kalau bicara soal cerita rakyat, justru ketidakpastian itu yang bikin hidup. Sejarah yang kaku hanya memberi data, sementara mitos memberi imajinasi. Dan Kencong ini hidup di antara keduanya.

Hidup di Kencong berarti akrab dengan pemandangan sawah terbentang luas, terutama di sepanjang jalur menuju Balung atau Umbulsari. Kalau musim tanam, aroma lumpur bercampur jerami jadi parfum alam yang gratis. Kalau musim panen, jalanan penuh dengan truk tebu, gabah, dan kadang-kadang sapi yang seenaknya melintas seperti punya SIM sendiri.

Tapi kalau mau tahu “jantung sosial” Kencong, bukan di kantor kecamatan, bukan pula di alun-alun (yang sebenarnya lebih sering jadi tempat parkir dadakan saat ada acara rakyat), melainkan di warung kopi bayan dan pasar pagi. Warkop Bayan dan pasar Kencong itu semacam media sosial dalam bentuk nyata: ada trending topic (harga cabai naik, minyak goreng langka), ada influencer (pedagang lama yang dipercaya soal gosip), dan ada juga buzzer (orang-orang yang tugasnya nyebar kabar secepat mungkin).

Di warkop dan pasar, obrolan bisa melompat dari soal harga beras sampai siapa yang bakal maju jadi kades. Informasi lebih cepat di sini ketimbang rilis resmi Pemkab Jember. Bahkan ada adagium: “Kalau mau tahu kabar terbaru Kencong, jangan ke kantor camat, tapi ke Warkop Bayan dan pasar dulu.”

Satu hal yang bikin Kencong unik adalah bagaimana anak mudanya memadukan tradisi lama dengan dunia digital. Nongkrong di warung kopi pinggir jalan masih jadi kebiasaan, bahkan bisa dibilang ritual sosial. Bedanya, sekarang obrolan mereka tidak melulu soal sepak bola internasional atau politik global, jarang mereka untuk ngobrolin yang lokal-lokal. Ada yang sambil buka TikTok Shop, jualan baju thrift, bahkan ada yang live jualan ikan cupang.

Di sini kita bisa lihat bagaimana digitalisasi tidak serta merta menghapus budaya lama, tapi justru hidup berdampingan. Siang nongkrong di warung kopi, malam bisa streaming Mobile Legends. Siang bantu orang tua di sawah, malam bikin konten YouTube. Inilah wajah Kencong: cair, fleksibel, tidak kagok dengan perubahan.

Kencong juga punya ciri khas soal religiusitas. Kalau kamu kebetulan lewat malam Jumat, hampir di setiap gang terdengar suara tahlil atau yasinan. Suasananya khusyuk, wangi dupa bercampur kopi hitam. Tapi jangan kaget, minggu depannya di lokasi yang sama bisa ada hajatan besar dengan sound system memekakkan telinga, lengkap dengan biduan dangdut dari Lumajang atau Jember kota.

Di sinilah menariknya: Kencong tidak pernah merasa bahwa doa dan hiburan rakyat harus dipertentangkan. Dua-duanya berjalan, dan masyarakat menikmatinya tanpa rasa bersalah. Yang penting, jangan sampai waktunya tabrakan. Kalau sudah tabrakan, biasanya kiai lokal turun tangan jadi penengah.

Kalau ada rumah roboh di Kencong, tetangga tidak menunggu ada berita resmi dari BPBD. Mereka langsung datang, bawa cangkul, parang, dan tenaga. Kalau ada orang hajatan, tetangga tanpa diminta sudah hadir dari pagi, entah untuk masak di dapur, nyumbang beras, atau sekadar bantu angkat kursi.

Hal-hal semacam ini yang membuat Kencong tetap hidup dengan otentiknya. Solidaritas sosial bukan sekadar jargon di spanduk, tapi benar-benar praktik sehari-hari. Kadang-kadang, gotong royong di Kencong justru lebih rapi dan cepat ketimbang program bantuan sosial pemerintah yang berlapis-lapis administrasi.

Politik di Kencong itu serius tapi santai. Saat pilkades, dukungan bisa fanatik sekali. Spanduk, baliho, sampai kaos partai bisa menutupi hampir semua jalan. Tapi begitu acara usai, masyarakat cepat kembali adem. Mereka sadar bahwa hidup tidak bisa berhenti hanya karena kalah atau menang di TPS.

Di warung kopi, politik sering dibicarakan dengan cara yang lebih jujur. Kadang pedas, kadang sarkastis, tapi tidak jarang juga sambil ketawa-tawa. Seolah-olah politik itu penting, tapi jangan sampai bikin pusing kepala. Sikap ini, kalau dipikir-pikir, lebih sehat ketimbang politisi Jakarta yang sering kebakaran jenggot.

Bagi orang luar Jember, Kencong sering hanya dipandang sebagai daerah pinggiran. Ujung selatan yang jauh dari pusat kota. Tapi justru karena letaknya di pinggir, Kencong bisa menjaga keautentikannya. Tidak terlampau sibuk mengejar citra modern, tapi juga tidak ketinggalan zaman.

Kencong seperti ruang jeda dalam kehidupan Jawa Timur yang makin riuh. Kalau kota besar sibuk dengan mal dan gedung bertingkat, Kencong masih sibuk dengan sawah, pasar, dan hajatan. Kalau kota lain pusing dengan macet, di Kencong kadang macet cuma gara-gara sapi nyeberang jalan.

Kencong adalah cermin bagaimana sebuah kecamatan bisa hidup tanpa harus ikut-ikutan gaya kota besar. Ia punya sejarah yang bercampur antara fakta dan mitos, punya kehidupan sosial yang cair, dan punya keautentikan yang tidak mudah diganti.

Di tengah dunia yang makin seragam, Kencong hadir sebagai pengingat: bahwa hidup tidak harus megah untuk bisa berarti. Bahwa solidaritas, pasar pagi, kopi hitam, dan gotong royong bisa jadi fondasi peradaban kecil yang jauh lebih hangat ketimbang jargon dengan diksi yang berlebihan yang kadang juga hanya berakhir jadi baliho.

Sederhananya: Kencong itu kecil di peta, tapi besar di hati warganya.

Baca Lainnya

Istighosah HSN 2025 dan Harlah ke-27 UAS: Refleksi Spirit Santri untuk Negeri

22 Oktober 2025 - 10:34 WIB

Ratusan Santri Meriahkan Kirab Lampion HSN 2025 di Alun-Alun Puger

22 Oktober 2025 - 07:15 WIB

Bebrayan Agung: LESBUMI PCNU Kencong Gelar Napak Tilas dan Nyekar Muassis dalam Rangka Hari Santri Nasional 2025

21 Oktober 2025 - 15:04 WIB

Pesantren Adalah Pondasi Moral Bangsa, Habituasi Agar Tidak Antikritik

21 Oktober 2025 - 10:12 WIB

Kick Off Hari Santri Nasional 2025 dan Harlah ke-27 UAS Kencong: Momentum Refleksi dan Pengabdian

19 Oktober 2025 - 08:24 WIB

Trending di LPTNU