Menu

Mode Gelap
Pelatihan Konselor Sebaya Pesantren, RMI PCNU Kencong Cetak Santri Generasi Emas Ratusan Kader Dai-Daiyah LD PCNU Kencong Ikuti Madrasah Dakwah di Dira Kencong Peringati Maulid Nabi, Gus Yak: Ciri Orang Wirai itu Tidak Meminta-minta LPTNU Kencong Fasilitasi Pelatihan Penyusunan Borang Akreditasi LESBUMI Podcast Eps.2, Islam Nusantara, Nyai Ageng Pinatih, dan Jejak Sunan Giri Persoalan Wali Nikah Muhakkam

OPINI

Disorientasi Belajar: Bukan Untuk Menjadi Pintar

badge-check


					Gambar: pixabay Perbesar

Gambar: pixabay

 Download PDF

Pernahkah bertanya kepada manusia di sekitar Anda, untuk apa mereka belajar atau bahkan menempuh pendidikan? Tak jarang yang menjadi tujuan adalah agar menjadi pintar, cerdas, berwawasan, atau bahkan untuk mencari pekerjaan. Ini adalah tujuan yang sering didengar telinga kita.

Apakah hal itu merupakan tujuan yang keliru? Tidak juga, semuanya adalah tujuan yang mulia, hanya saja belum paripurna. Sehingga ketidakparipurnaan ini membuat manusia cepat puas, merasa sudah unggul dari orang yang lain, merasa proses berjuangnya sudah cukup dan tinggal menikmati hasil saja.

Terkadang ukuran seperti itu justru membawa keresahan di tengah masyarakat. Contoh, kita sering menemukan orang cerdas atau pintar, namun mudah menyalahkan lingkungan atau kultur yang (secara tekstual) salah. Tanpa kemudian melakukan pendekatan sosial terlebih dahulu, seperti observasi, evaluasi, lalu mengatur strategi revolusi, bukan langsung menjustifikasi lalu hilang tanpa solusi.

Terkadang bagi sebagian orang, hadirnya orang seperti ini cukup meresahkan, bukan justru membawa kedamaian apalagi perubahan. Inilah poin pentingnya, belajar tidak cukup pintar saja, harus diimbangi dengan sikap yang bijaksana.

Kedua, bila tujuan belajar adalah menjadi lebih unggul dari yang lain. Suatu hari penulis berjumpa dengan teman lama, dia bercerita.

“Aku kemarin bertemu dengan si Fulan, Bel. Boh, nggak nyapa dia, belum jadi kepala sekolah saja sudah berlagak begitu.”

Sontak hatiku berbisik, “Ya Allah, ahamdulillah, saya masih Engkau jaga dari sikap demikian.”

Pemikiran bahwa diri kita lebih unggul dari yang lain, khawatir akan mengarahkan hati kita bahwa orang lain lebih rendah. Sehingga perasaan yang diproduksi oleh pikiran dan diwujudkan dalam tindakan tersebut dapat meresahkan hingga membuat orang lain tidak nyaman.

Ketiga, jika belajar bertujuan mencari pekerjaan:

1) Bila tidak mendapat pekerjaan sebagaimana yang diharapkan, maka belajarnya dinilai tidak menunjukkan keberhasilan.

2) Dalam beberapa fenomena, untuk mendapat pekerjaan yang diharapkan cenderung menempuh jalan pintas.

3) Pekerjaan yang dimaknai sebagai kegiatan materialistis, hanya akan menjadikan nominal sebagai ukuran keberhasilan, serta berpotensi mengabaikan nilai kemanusiaan.

Ketiga hal di atas menjadi kekhawatiran penulis, terhadap orang yang belajar namun tidak mampu menjangkau tujuan paripurna dan yang seperti itu tidak akan ada habisnya di dunia. Karakter-karakter amoral dan tidak berintegritas justru banyak datang dari manusia-manusia banyak gelar, semisal para pejabat yang korupsi. Inilah urgensi disorientasi belajar harus segera dievaluasi.

Lalu bagaimana harusnya tujuan belajar? Tujuan yang  penulis rekomendasikan adalah hasil dari perenungan tekstual dan kontekstual. Jadi, boleh saja renungan penulis beda dengan Anda, atau pada akhirnya kita akan berpandangan sama, hal itu tidak menjadi soal.

Bagi penulis, yang terpenting adalah menyampaikan pemikiran, sedangkan penerimaan pembaca terhadap gagasan adalah bonus dan keberuntungan. Dalam mengurai hal ini, penulis menggunakan perspektif Islam.

Lalu seharusnya bagaimana kita sebagai seorang muslim  dalam mengkonsep orientasi belajar? Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (Teori Belajar dan Pembelajaran, 2015), tujuan orang belajar perspektif Islam adalah mendapatkan rida dari Allah swt., memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran islam, serta mensyukuri nikmat Allah.

Selain memerangi kebodohan, semuanya tidak berbicara untuk menjadi pintar atau cerdas, karena tanpa menjadi tujuan, bagi orang yang belajar kedua hal tersebut tentu pasti mereka dapatkan. Juga sama sekali tidak berbicara untuk mencari pekerjaan secara spesifik, tetapi untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan kita akui, bahwa untuk menjadi bahagia terkadang tidak datang dari pekerjaan. Secara garis besar, tujuan belajar adalah bagaimana Allah menjadi rida terhadap kita.

Belajar merupakan perintah pertama yang ditujukan Allah kepada Nabi Muhammad saw, tersirat dalam ayat pertama yang diwahyukan, yaitu iqra’ (bacalah). Quraish Shihab dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (Teori Belajar dan Pembelajaran, 2015), menerangkan bahwa iqra berasal dari akar kata yang memiliki arti menghimpun. Dari menghimpun muncul beberapa makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Semua kegiatan tersebut secara tersirat menunjukkan perintah belajar.

Jika demikian, maka tugas beliau sebagai Rasulullah adalah li utammima makarimal akhlaq (untuk memperbaiki akhlak). Jadi, perspektif orientasi belajar bagi kita sebagai umat Muhammad sekaligus penerus perjuangan Nabi–sebagaimana tujuan beliau ditugaskan oleh Allah–yaitu untuk memperbaiki akhlak.

Inilah yang menjadi basis pemikiran penulis setelah melalui perjalanan panjang di dunia pendidikan. Ini adalah tujuan yang tidak terbatas oleh masa dan kuasa. Dimiliki oleh seluruh manusia muslim di dunia, tujuan paripurna. Bila orientasi belajar demikian menjadi basis pemikiran, maka kita akan terhindar dari manusia berilmu yang meresahkan atau bahkan kehadirannya tidak diharapkan.

Ingat, penyakit sosial tidak dimulai dari siapa, tetapi dari kita sendiri yang tak terasa menjadi sebuah konsep dan gagasan sehingga jadilah konstruk sosial. Bila per hari ini kita meresahkan aktivitas amoral yang dilakukan oleh orang yang justru telah melalui perjalanan panjang belajar, maka solusinya adalah konstruk sosial orientasi belajar harus dikembalikan kepada hakikatnya.

Semoga tulisan singkat ini memberikan hikmah kepada kita semua. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Penulis: Sinta Bella (Wakil Ketua III STAI RAYA Jember)

Editor: M. Ilham Fikron

Baca Lainnya

Pelajar NU dan Generasi Alpha Diserbu Konten Absurd, Siapa Peduli?

13 Juli 2025 - 13:15 WIB

NU dan Pancasila: Ikatan Sejarah yang Tak Terpisahkan

1 Juni 2025 - 08:44 WIB

LTN NU : Harkitnas meneladani Semangat Pejuang untuk Indonesia maju

20 Mei 2025 - 13:55 WIB

Menjadi Ketua Harus Siap Disambati Urusan “Tilang Polisi”

12 Maret 2025 - 19:58 WIB

Refleksi 102 Tahun Nahdlatul Ulama: Menggali Makna dan Peran dalam Kehidupan Berbangsa

17 Januari 2025 - 06:27 WIB

Trending di OPINI