Lingkungan pesantren merupakan aura positif yang penuh dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an, kalam hikmah, serta dawuh Kyai yang kami dengar setiap pagi, saut hafalan dan murajaah nazam para santri saling melengkapi kesibukan lembaga keagamaan ini. Sulit untuk mempercayai bahwa tempat yang begitu tenang, penuh harapan, dan kasih sayang ini disebut-sebut oleh pemfitnah di sosial media sebagai sumber kezaliman.
Respon terhadap masalah pesantren yang muncul akhir-akhir ini memiliki dua konsekuensi: apabila dianggap remeh, pelaku tidak mendapatkan efek jera. Sedangkan jika diabaikan, maka semakin menjadi bola liar.
Setiap perjalanan menapaki dunia kerja dan organisasi, ada seorang rekan yang selalu mengingatkan, “Ukhti, bagaimanapun kariermu kelak, janganlah lupakan bahwa engkau adalah seorang santri.” Sepanjang perjalanan tersebut, kami kerap merenungkan mengapa harus selalu mengingat identitas dan jati diri ini adalah selamanya sebagai santri.
Pertama, santri menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. Apapun tawaran gemerlap dunia tidak mampu menggoyahkan komitmen santri untuk tetap berada di jalan kebenaran. Santri tidak dapat dibeli; jika hal tersebut terjadi, sesungguhnya ia bukanlah santri.
Kedua, santri memiliki wawasan luas sekaligus perasaan yang lembut. Ia bersikap tegas terhadap segala bentuk kezaliman, namun kasih sayang tetap menjadi landasan utama setiap tindakan dan pengambilan keputusan. Santri bertindak bukan untuk menghakimi, melainkan dengan kesadaran menjalankan amanah dari Sang Ilahi.
Ketiga, santri menjunjung tinggi andhap ashor, memahami bahwa setiap kelebihan adalah amanah dari Tuhan untuk melaksanakan tugas sebagai hamba dan khalifah-Nya. Oleh karena itu, kelebihan yang dimiliki bukanlah untuk kebanggaan, melainkan tanggung jawab yang harus dijalankan.
Lalu, apakah esensi santri yang demikian dengan pesantren dan hubungan dengan Kyai yang kerap disalahartikan sebagai bentuk perbudakan? Padahal, pengalaman, wawasan, dan tujuan kami terbentuk oleh lingkungan pesantren serta berdasarkan tuntunan Kyai dan Nyai.
Sejujurnya, selain teladan orang tua, guru adalah pilar utama yang menguatkan kami. Saat kami merasa lelah, kami termenung, “Bukankah Kyai dan Nyai yang berperan selama 24 jam bersama santri–dengan segala persoalannya–lebih lelah?” Mereka berfungsi sebagai orang tua, guru, pengawas, mediator, tenaga medis, hingga pengelola pesantren, tanpa menerima imbalan materi.
Kalaupun dihitung secara materi, jasa Kyai, Nyai, ustad/ah, dan seluruh pengurus tidak akan pernah dapat ditaksir secara nominal. Ilmu, pengabdian, perjuangan, dan penghormatan mereka kepada umat hanya dapat diapresiasi oleh Tuhan. Manusia dalam bentuk apapun tidak mampu membalasnya dengan sempurna.
Pesantren merupakan salah satu pondasi moral bangsa. Apabila ada pihak yang berusaha menghancurkannya, maka secara tidak langsung ia juga sedang berupaya menghancurkan moral bangsa. Oleh karena itu, persoalan ini bukan semata urusan santri, melainkan menjadi persoalan seluruh bangsa.