Menu

Mode Gelap
Satu Keluarga, Satu Semangat Santri, Kisah Keluarga Nurma di Upacara Hari Santri Nasional LPTNU Kencong dan PP Bustanul Ulum Mlokorejo Puger Semarakkan HSN 2025 dengan Upacara dan Kirab Santri Istighosah HSN 2025 dan Harlah ke-27 UAS: Refleksi Spirit Santri untuk Negeri Ratusan Santri Meriahkan Kirab Lampion HSN 2025 di Alun-Alun Puger Santri Pemimpin Santri, Harapan Baru dari Bupati Jember Gus Fawait Bebrayan Agung: LESBUMI PCNU Kencong Gelar Napak Tilas dan Nyekar Muassis dalam Rangka Hari Santri Nasional 2025

KENCONG

Taman Baca Kencong Dan Semangat Menjaga Api Literasi

badge-check


					Taman Baca Kencong Dan Semangat Menjaga Api Literasi Perbesar

 Download PDF

Di sebuah sudut alun-alun Kencong, Jember, saban hari Minggu pagi ada pemandangan yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang: tikar digelar, kardus dibuka, dan puluhan buku ditata seadanya. Dari novel usang hingga buku filsafat, dari kumpulan puisi sampai literatur populer. Semuanya tersedia, gratis untuk dibaca siapa saja. Tidak ada loket, tidak ada biaya sewa, tidak ada syarat keanggotaan. Inilah yang dikenal warga sekitar sebagai pustaka jalanan—ruang alternatif yang tumbuh bukan dari kebijakan negara, melainkan dari keresahan sekelompok pemuda-pemudi terhadap rendahnya minat baca masyarakat.

Fenomena ini, yang sudah berjalan semenjak tahun 2018 bukan semata soal melapakkan buku saja, melainkan tentang menghadirkan ruang perjumpaan. Mereka yang melapak buku di alun-alun Kencong sejatinya sedang menantang arus besar komodifikasi pengetahuan, di mana akses literasi sering kali dibatasi oleh kemampuan ekonomi dan ruang sosial tertentu. Dengan cara sederhana—menggelar buku di ruang publik—mereka menghadirkan pesan: pengetahuan adalah milik semua orang, bukan privilese segelintir kalangan.

Kegiatan ini berangkat dari keresahan. Data tentang literasi Indonesia kerap menempatkan bangsa ini pada peringkat rendah dalam survei global. Namun lebih dari angka-angka, keresahan itu lahir dari realitas sehari-hari: betapa jarangnya warga terlihat membaca buku di ruang publik, betapa buku dianggap sekadar barang mewah, bukan kebutuhan. Maka pustaka jalanan yang mereka namai “Taman Baca Kencong & Literasi Rakyat” hadir untuk menggeser paradigma, menghadirkan buku dalam keseharian, menjadikannya teman santai di alun-alun sebagaimana kopi dan obrolan.

Spirit di balik kegiatan ini tidak bisa dilepaskan dari kesadaran bahwa literasi adalah bentuk perlawanan. Membaca bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan juga tindakan politik—cara menolak kebodohan yang sengaja dipelihara. Pegiat Taman Baca Kencong sadar, semakin minim literasi masyarakat, semakin mudah publik digiring oleh arus hoaks, propaganda, dan kebijakan yang timpang. Dengan membuka akses pada buku, mereka sedang menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya kesadaran kolektif.

Uniknya, pustaka jalanan di alun-alun Kencong tidak menggurui. Mereka tidak memaksa siapa pun membaca buku tertentu, tidak pula memberi kuliah tentang pentingnya literasi. Mereka hanya menyiapkan ruang. Anak-anak yang mampir bisa membuka komik, bapak-bapak yang menunggu giliran senam bisa melirik surat kabar, remaja bisa menemukan novel cinta. Mereka itu percaya: minat baca tidak tumbuh dari ceramah panjang, melainkan dari kesempatan yang dibuka seluas-luasnya.

Di titik inilah, semangat mereka patut dicatat sebagai gerakan kultural. Mereka bekerja di level akar rumput, jauh dari sorotan media besar atau dukungan dana pemerintah. Keberlanjutan pustaka jalanan bergantung pada solidaritas: buku sumbangan dari kawan, tikar pinjaman atau sisa baner kampanye di jalanan, tenaga sukarela. Semua berjalan organik, tapi justru di situlah kekuatannya. Semangat kolektif mengikat kegiatan ini, membuatnya tahan dari sekadar tren musiman.

Lebih jauh, Taman Baca Kencong juga membongkar batas antara ruang privat dan publik. Membaca selama ini identik dengan ruang tenang—perpustakaan resmi, sekolah, atau rumah. Dengan hadir di alun-alun, membaca ditempatkan dalam ruang hidup masyarakat sehari-hari. Buku tak lagi eksklusif, melainkan hadir di antara teriakan pedagang kaki lima, tawa anak-anak, dan deru kendaraan. Membaca menjadi bagian dari kehidupan, bukan aktivitas yang dipisahkan dari hiruk-pikuk sosial.

Barangkali, hasil dari kegiatan ini tidak bisa diukur secara instan. Tidak ada grafik naik-turun jumlah pengunjung yang bisa langsung membuktikan keberhasilan. Namun di balik itu, ada benih yang pelan-pelan tumbuh: anak yang mulai terbiasa melihat buku, orang tua yang tersadar bahwa membaca bisa dilakukan di mana saja, atau remaja yang suatu hari nanti memilih melanjutkan gerakan serupa di lingkungannya sendiri. Semua adalah investasi jangka panjang dalam membangun budaya literasi.

Semangat pegiat Taman Baca di alun-alun Kencong mengingatkan kita bahwa perubahan sosial kerap lahir dari inisiatif sederhana, bukan dari ruang-ruang mewah yang penuh fasilitas. Mereka yang melapak buku setiap Minggu pagi di Alun-Alun, juga tak jarang datang ke kampung-kampung plosok untuk sekadar membagi akses, hak belajar dan membaca yang sama. Semacam teladan: bahwa menjaga api literasi tidak selalu butuh gedung megah, cukup dengan tikar, buku, dan niat tulus berbagi. Dari ruang kecil itu, mereka sedang menulis ulang narasi tentang masyarakat yang haus pengetahuan—narasi yang barangkali suatu hari nanti akan menjadi fondasi peradaban yang lebih kritis dan berkeadilan.

Baca Lainnya

Satu Keluarga, Satu Semangat Santri, Kisah Keluarga Nurma di Upacara Hari Santri Nasional

22 Oktober 2025 - 18:19 WIB

LPTNU Kencong dan PP Bustanul Ulum Mlokorejo Puger Semarakkan HSN 2025 dengan Upacara dan Kirab Santri

22 Oktober 2025 - 18:10 WIB

Istighosah HSN 2025 dan Harlah ke-27 UAS: Refleksi Spirit Santri untuk Negeri

22 Oktober 2025 - 10:34 WIB

Ratusan Santri Meriahkan Kirab Lampion HSN 2025 di Alun-Alun Puger

22 Oktober 2025 - 07:15 WIB

Santri Pemimpin Santri, Harapan Baru dari Bupati Jember Gus Fawait

22 Oktober 2025 - 06:21 WIB

Trending di LTNNU